Prevalensi dan Faktor Risiko Demensia dan Pengetahuan Pengasuh Sejak Dini Tentang Gejala Penyakit Alzheimer

Kamis, 02-07-2020SurveyMETERNi Wayan Suriastini, Yuda Turana, Bondan Supraptilah, Teguh Yudo Wicaksono, Endra Dwi Mulyanto


Jumlah penderita demensia di Indonesia diproyeksikan meningkat secara signifikan. Meskipun demikian, belum ada data valid yang menjelaskan mengenai prevalensi demensia. Penelitian yang dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Desember 2015 ini adalah studi pertama yang mendapatkan prevalensi, faktor risiko demensia dan untuk menggambarkan pengetahuan pengasuh tentang gejala awal Penyakit Alzheimer (AD).

Terdapat hubungan eksponensial antara penyakit demensia dan usia tua. Dengan menggabungkan beberapa penelitian, tingkat demensia akan berlipat ganda dengan setiap 6,3 tahun peningkatan usia, dari 3,9 per 1.000 orang pada usia 60-64 tahun hingga 104,8 per 1.000 orang di atas 90 tahun.

Saat ini, terjadi kesalahpahaman pengertian di antara anggota keluarga di Indonesia terkait demensia. Banyak anggota keluarga atau masyarakat umum yang merasa bahwa kehilangan memori dan gangguan kognitif sebagai bagian dari proses penuaan yang normal. Kurangnya kesadaran akan gejala awal demensia di antara pengasuh menciptakan tantangan yang cukup substansial dalam mendeteksi penyakit yang melemahkan ini.
Angka harapan hidup terus meningkat secara global, mengakibatkan peningkatan populasi lanjut usia. Asia, benua dengan populasi terbesar (60%) di dunia, mengalami peningkatan yang sangat cepat terkait dengan populasi yang menua, dibandingkan dengan negara-negara Barat. Prevalensi masalah kesehatan yang berkaitan dengan usia seperti demensia akan meningkat seiring proses penuaan.

World Alzheimer Report memperkirakan pada tahun 2015 bahwa terdapat 46,8 juta orang hidup dengan demensia di seluruh dunia. Prevalensi demensia pada orang berusia lanjut ≥60 tahun di Afrika Utara dan Timur Tengah berada di antara 5,75% hingga 8,67%. Studi menunjukkan prevalensi demensia di DIY (Indonesia) lebih tinggi (20,1%) dibandingkan dengan negara lain. Dalam studi ini, sebagian besar responden berpendidikan rendah dan tinggal di daerah pedesaan.

Temuan
Penelitian ini secara objektif menunjukkan bahwa tingkat prevalensi demensia di daerah pedesaan/terpencil seperti Kabupaten Gunung Kidul lebih tinggi dibandingkan ke daerah lain. Perbedaan prevalensi demensia disebabkan oleh perbedaan topografi di masing-masing daerah. Sebagian besar Kabupaten Gunung Kidul adalah pedesaan daerah, dibandingkan dengan Bantul dan kabupaten lainnya.

Pertanian adalah pekerjaan utama dan tidak banyak peluang kerja yang dapat menstimulasi memori kognitif pada masyarakat terutama para lanjut usia. Gaya hidup yang berbeda, tingkat kesadaran kesehatan, dan kondisi kesehatan berkontribusi terhadap tingkat prevalensi demensia. Masyarakat di perkotaan cenderung lebih terdidik, dan mereka banyak terlibat dalam berbagai kegiatan yang menstimulasi otak dibandingkan dengan para saudra mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

Penyakit stroke juga dapat meningkatkan prevalensi demensia. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa setengah dari subyek didiagnosis demensia memiliki riwayat stroke. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stroke mungkin memicu berbagai hal patologi termasuk yang dikaitkan dengan subkortikal demensia vaskular, demensia multi-infark, dan infark demensia. Risiko demensia meningkat 6 kali lipat dalam lima tahun setelah kejadian stroke. Bahkan risiko demensia meningkat sejak lima tahun sebelumnya dan berlanjut lebih dari 11 tahun setelah kejadian stroke, dengan risiko tertinggi terjadi dalam satu tahun setelah kejadian stroke. Stroke memengaruhi hippocampus dan materi putih otak, dengan demikian berkontribusi terhadap patogenesis penurunan nilai kognitif pasca-stroke.

Dalam penelitian ini, tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara hipertensi dan diabetes mellitus dengan demensia. Hasil ini mirip dengan penelitian lain menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut masih dalam perdebatan sebagai faktor risiko demensia. Diabetes mellitus tidak berhubungan dengan demensia pada studi klinikopatologis besar.

Para lanjut usia yang masih aktif bekerja memiliki risiko demensia yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak bekerja. Bekerja dianggap sebagai kegiatan sosial dan kognitif. Penelitian oleh Marioni, et al. Menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti peningkatan keterlibatan sosial, aktivitas fisik, atau intelektual dapat mengurangi risiko demensia.

Pengetahuan tentang gejala awal demensia pada pengasuh (caregiver) dalam penelitian ini buruk. Yang mengejutkan, hanya kurang dari 12 persen pengasuh dapat mengidentifikasi kehilangan memori sebagai gejala demensia. Pengasuh yang memiliki wawasan yang lebih baik gejala awal demensia berkontribusi dalam membuat diagnosis dini dengan mencari konsultasi medis. Mereka dapat memberikan peringatan dini kepada anggota keluarga dan petugas kesehatan dengan mengamati gejala awal. Pengetahuan pengasuh adalah juga penting dalam membuat keputusan untuk memberikan perawatan para lanjut usia.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa para pengasuh lebih cenderung berasumsi bahwa kehilangan ingatan adalah bagian dari penuaan normal, hasilnya hampir sama dengan ulasan sistematis oleh Cahill S et al. pengetahuan tentang demensia cukup rendah, terutama di negara dengan tingkat penghasilan rendah hingga menengah.

Kesimpulan
Prevalensi demensia dalam penelitian ini adalah tinggi. Faktor risiko yang umum adalah usia yang lebih tua, tingkat pendidikan rendah, riwayat stroke, dan pengangguran. Pengetahuan lanjut usia dan pengasuh terhadap 10 gejala awal AD sayangnya cukup buruk. Prevalensi data dan tingkat pengetahuan tentang AD harus disediakan. Informasi berbasis bukti kepada semua pihak dan harus cukup jelas untuk memulai evaluasi dalam meningkatkan kesadaran akan gejala, termasuk gejala sejak dini dalam langkah pencegahan dan pengobatan AD.
______
Demikian rangkuman working paper berjudul “Prevalence and Risk Factors of Dementia and Caregiver’s Knowledge of the Early Symptoms of Alzheimer’s Disease” yang dipublikasikan di Jurnal Aging Medicine and Healthcare Edisi 2020;11(2):60-66 (www.agingmedhealthc.com).
Working paper tersebut dapat diunduh di tautan: https://www.agingmedhealthc.com/wp-content/uploads/2020/06/v11i2_5_jcgg…