Mengangkat kerja layak bagi lanjut usia yang menekuni solusi berbasis alam di Indonesia


Author : Jumat, 31/05/2024

Sesuai pengertiannya, solusi berbasis alam (NbS) menjanjikan beragam manfaat lingkungan dan sosial bagi lanjut usia (semisal, keamanan pangan yang baik). Namun, pekerjaan NbS bukanlah tanpa tantangan.

Terlepas dari kontribusinya terhadap lingkungan, penduduk lanjut usia di Jawa Tengah menekuni pekerjaan NbS secara informal, sehingga kerap dibayar murah atau bahkan sukarela dengan keamanan kerja, penghasilan, dan perlindungan sosial yang kurang memadai.

Pekerjaan NbS ditandai dengan rendahnya keselamatan kerja, lantaran infrastruktur kurang memadai dan tuntutan fisik pekerjaan yang tinggi.

Meski sebagian besar lanjut usia bercita-cita untuk menambah keterampilan, melakukan pekerjaan selain kerja manual, mereka tidak mempunyai cukup kesempatan untuk pengembangan diri.

Stereotip dan diskriminasi berdasarkan usia (ageisme) kian marak, menyerukan kegentingan untuk mengangkat masalah ini di masyarakat dan menciptakan inisiatif yang memberdayakan lanjut usia.

Dialog sosial masih jarang ditemui di wilayah perdesaan. Sehingga, harapan petani lanjut usia untuk mengubah bagi-hasil dalam sistem penyakapan cenderung terabaikan.

Standar ekolabel, meski menawarkan kelestarian alam, juga bisa mengabaikan peluang pendapatan lanjut usia, terutama dalam jual beli hasil hutan non-kayu.

Kebijakan ketenagakerjaan, meliputi pekerjaan NbS, yang sejalan dengan Program Kerja Layak Nasional Indonesia perlu dirancang dan diterapkan demi memastikan hak-hak lanjut usia tetap dihormati.

Demikian pesan kunci dari hasil studi SurveyMETER bersama HelpAge International yang dilakukan pada Desember 2023 sampai Januari 2024 di Kabupaten Purworejo, yang kemas dalam Policy Brief Edisi Mei 2024. Selengkapnya dapat diunduh di sini.

Saatnya Aktifkan Perubahan Perilaku Pemberian ASI dan Intervensi


Author : Wayan Suriastini | Dani Alfah | Bondan Sikoki | Roni Hermoko | Listiono | Iip Umar Rifa’i | Dhanang PrasetyaKamis, 08/10/2020SurveyMETER

Sebelum pandemi COVID19, Indonesia sudah menjadi salah satu negara dengan beban stunting dan gizi buruk tertinggi di dunia. UNICEF memprediksi pandemi COVID-19 berpotensi memperburuk beban malnutrisi pada anak-anak Indonesia akibat pola makan yang tidak seimbang.

SurveyMETER melakukan survei telepon dilakukan oleh SurveyMETER di salah satu kecamatan di Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur pada bulan Juni-Juli 2020—dengan dukungan Knowledge Sector Initiative—untuk mengetahui pola makan anak balita pada saat pandemi COVID19. Survei ini berhasil mendata 1.321 balita dengan kelompok umur 25-45 bulan sebanyak 62% dan kelompok umur 6-24 bulan 38%. 

Hasil survei menunjukkan presentase balita usia 6-24 bulan yang tidak pernah mengkonsumsi ASI masih relatif tinggi pada masa pandemi yaitu 23%. Padahal kesadaran orang tua merupakan kunci keberhasilan dalam pemberian ASI selama dua tahun untuk mendukung 1.000 hari pertama kehidupan dan tentu saja membutuhkan dukungan dari keluarga, lingkungan dan masyarakat.

Selengkapnya hasil studi berupa ringkasan dan Research Brief dapat dibaca dan diunduh di sini.

 

Pandemi COVID-19 menjadi Momentum Mengubah Pola Asuh Balita


Author : Wayan Suriastini | Dani Alfah | Bondan Sikoki | Roni Hermoko | LIStiono | Iip Umar Rifa’i | Dhanang PrasetyaJumat, 02/10/2020SurveyMETER

Pandemi COVID-19 membuka adaptasi kebiasan baru bagi orang tua dari anak di bawah lima tahun (Balita) di seluruh dunia termasuk Indonesia. Orang tua dituntut untuk menyeimbangkan antara pekerjaan, mengasuh dan merawat, pekerjaan rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan. Kebijakan pembatasan sosial dan fisik untuk kesehatan membawa kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama dan meningkatkan hubungan antara orang tua dan anak lebih intensif sehingga dapat mengembangkan pola asuh anak yang lebih ideal di lingkungan keluarga.

Pertanyaannya, apakah semua orang tua mampu memanfaatkan waktu interaksi dan menggunakan peluang di masa Pandemi tersebut dengan baik?

Untuk mengetahui hal tersebut sebuah telepon survei dilakukan oleh SurveyMETER di salah satu kecamatan di Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Telepon survei dilaksanakan pada tanggal 16 Juni – 20 Juli 2020 dengan dukungan Knowledge Sector Initiative kepada seluruh rumah tangga yang memiliki balita di kecamatan tersebut. Survei telepon ini dilaksanakan menggunakan baseline data dari Survei Terpadu Penanganan Stunting Berbasis Data Individu dan Rumah Tangga yang dilaksanakan sebelumnya oleh SurveyMETER pada periode bulan November 2018 – Maret 2019.

Survei telepon berhasil mewawancarai 1302 rumah tangga yang memiliki Balita (usia 6 - 45 bulan). Total responden sebanyak 1294 pengasuh di mana 95%-nya merupakan ibu kandung dari Balita. Dari total 1321 Balita yang menjadi sampel, sebanyak 51% merupakan balita perempuan dan 49% laki-laki.

Pola asuh Balita selain dilihat dari sisi demografi, jenis kelamin dan umur, juga dilihat dari keragaman kondisi ekonomi rumah tangga pada saat pandemi serta tingkat kecemasan pengasuh. Keadaan ekonomi, kesehatan dan sosial orang tua atau pengasuh selama pandemi tentu ikut berkontribusi. Bagaimana juga potret interaksi orang tua (ibu dan ayah) dengan Balita serta media edukasi yang tersedia di rumah selama pandemi dapat menggambarkan hal tersebut? Selengkapnya hasil studi dalam bentuk Research Brief dapat diunduh di sini

Gangguan Kesehatan Mental Meningkat Tajam di Masa Pandemi COVID-19?


Author : Wayan Suriastini, Bondan Sikoki dan ListionoSelasa, 21/07/2020

COVID-19 memberikan multiple stress pada kehidupan masyarakat. Mulai dari kekhawatiran akan tertular COVID-19, khawatir akan meninggal dan kehilangan anggota keluarga serta teman hingga stress akibat terkena PHK dan mengalami penurunan pendapatan. Di sisi lain, laporan media yang secara konstan memberitakan tentang angka dan keadaan yang sakit dan meninggal menambah rasa takut dan stress. Sehingga masyarakat yang tidak mengalami kekhawatiran atau depresi sebelum pandemi menjadi memiliki kekhawatiran yang berlebihan dan depresi pada saat pademi.

Kondisi di atas merupakan gambaran global dari hasil survei online Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Kondisi Kesehatan Mental yang dilakukan SurveyMETER akhir Mei 2020 lalu. Tingkat kecemasan dan depresi berdasarkan keadaan demografi, geografi, sosial dan ekonomi terkorelasi dengan perubahan status bekerja serta perubahan pendapatan selama pandemi COVID-19.

Lebih rinci lagi, perempuan mengalami tingkat kecemasan lebih tinggi dari pada laki-laki. Makin tinggi tingkat pendidikan responden makin rendah tingkat kecemasannya. Responden yang berdomisili di lima provinsi dengan jumlah kasus COVID-19 tertinggi sebelum survei dilakukan (yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan), mengalami tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Tingkat kecemasan umum (GAD) tersebut memiliki pola yang sama dengan depresi. Korelasi antara keduanya cukup tinggi dan signifikan yaitu mencapai angka 0.76. Sebanyak 58% responden melaporkan depresi. Sama halnya dengan gangguan kecemasan, perempuan lebih banyak yang mengalami depresi dibandingkan dengan laki-laki.

Untuk mengetahui lebih lengkap hasil studi termasuk rekomendasi terhadap pemerintah dan kita semua, silahkan unduh dan baca hasil studi tersebut dalam bentuk Research Brief di sini.

Menggugah Lahirnya Kebijakan Kelanjutusiaan: Hasil Studi Demensia Bali 2018


Author : Wayan Suriastini, Yuda Turana, Luh Ketut Suryani, I Wayan Sukadana, Bondan Sikoki, Firman Witoelar, Cokorda Bagus Jaya Lesman, Endra Dwi Mulyanto, Roni Hermoko, I G. A. A. Apsari AnandariRabu, 18/07/2018SurveyMETER

Provinsi Bali sudah memasuki era struktur penduduk tua di tahun 2017 dengan persentase penduduk lanjut usia mencapai 10,79%. Kondisi tersebut menempatkan Provinsi Bali sebagai daerah dengan jumlah penduduk lanjut usia tertinggi di luar Pulau Jawa. Perbaikan dalam bidang kesehatan, migrasi, angka harapan hidup yang tinggi serta keberhasilan program keluarga berencana ikut berkontribusi dalam peningkatan jumlah pendudukan lanjut usia di Bali. Penomena penuaan penduduk tidak hanya terjadi di Bali tetapi juga terjadi secara nasional dan global. Seiring dengan penuan penduduk penyakit degeneratif seperti demensia juga semakin meningkat. 

Demensia merupakan suatu penyakit dengan serangkaian gejala penurunan fungsi otak seperti daya ingat, emosi, pemecahan masalah, termasuk komunikasi yang sifatnya progresif hingga tidak dapat lagi melakukan aktivitas harian. Pada tahun 2015, World Alzheimer’s Report memperkirakan terdapat 9,9 juta kasus demensia baru setiap tahun di seluruh dunia dan satu kasus baru setiap tiga detik. Biaya ekonomi yang dikeluarkan untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke atas, seperti Indonesia, diperkirakan mencapai US$ 2.2 Milyar per tahun. Biaya ini mencakup biaya medis, biaya sosial dan perawat yang tidak formal.

Hingga sebelum akhir tahun 2015, di Indonesia belum tersedia data tentang prevalensi demensia pada tingkat populasi. Studi SurveyMETER di DI Yogyakarta di pengujung tahun 2015 merupakan studi pertama di Indonesia tentang prevalensi demensia pada tingkat populasi dengan sampel bersekala besar. Indonesia sangat memerlukan data prevalensi demensia di provinsi lain untuk perencanaan penanganan demensia pada tingkat lokal maupun nasional.

Studi Demensia di Provinsi Bali yang dilakukan pada Maret-April 2018 bisa menjawab tantangan terhadap kebutuhan terhadap data pada tingkat populasi di luar Jawa. Guna memberikan informasi sekaligus untuk mengetahui kondisi demensia di luar Jawa pada umumnya dan Bali khususnya. Studi dilakukan SurveyMETER bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Suryani Institute, dan Alzheimer Indonesia (ALZI) dengan dukungan dari Knowledge Sector Initiative (KSI). Studi dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali dengan total responden 1.685 lanjut usia di 117 desa/kelurahan. Data kemudian dianalisis berdasarkan faktor-faktor resiko untuk mendukung lahirnya kebijakan kelanjutusiaan di Bali yang mencakup kebijakan orang dengan demensia. Hasil studi yang disajikan dalam Research Brief dapat diunduh di sini

Program Cerita Kehidupan Perlu Diadopsi oleh Sekolah-Sekolah: Program Terbukti Memperbaiki Pengetahuan, Sikap dan Tingkah Laku Siswa pada Lanjut Usia


Author : Ni Wayan Suriasni, Bondan Sikoki, Titis Putri Ambarwati, dan Nadia FitrianiJumat, 03/11/2017SurveyMETER

Tahun 2013 lalu, SurveyMETER dan CAS UI melakukan Studi Asesmen Kota Ramah Lanjut Usia di 14 kota di Indonesia. Hasil studi tersebut menunjukkan upaya yang belum maksimal dalam mewujudkan kota dan komunitas ramah lanjut usia. Dari 95 indikator di 8 dimensi Kota Ramah Lanjut Usia terbitan WHO yang menjadi acuan penilaian studi, masih banyak yang harus diperbaiki. Salah satu indikator yang masih berwarna merah (skor rendah) terdapat pada Dimensi Penghormatan dan Inklusi Sosial yaitu “Sekolah memberikan kesempatan untuk mempelajari tentang lansia dan melibatkan lansia dalam kegiatan sekolah”.

Berlatar belakang hasil studi tersebut SurveyMETER melakukan Studi Pengetahuan, Sikap dan Tingkah Laku Anak Sekolah pada Lanjut Usia dengan intervensi pilot Program Cerita Kehidupan. Data studi diambil pada saat sebelum (baseline) dan sesudah (endline) program. Program tersebut dimakudkan untuk memotret kreativitas dan pelayanan siswa umur 10-17 tahun (SD, SMP, SMA/SMK) sebagai generasi muda dalam menghormati lanjut usia dengan cara menuliskan dan menceritakan kehidupannya. Siswa ditugaskan untuk mengunjungi seorang satu lanjut usia yang bukan nenek atau kakeknya dalam 3 kali kunjungan. Mereka diorong untuk mengenal, ‘ngobrol’ (berinteraksi), dan menghabiskan waktu bersama dengannya sehingga dapat menuliskan cerita bermakna tentang lanjut usia serta berbagi cerita tersebut di komunitasnya. Program ini pertama kali dikembangkan di New Jersey, USA pada tahun 2012. Tujuannya adalah agar pengetahuan lanjut usia dan pengalaman hidup mereka dapat diketahui dan dihargai serta dapat menginspirasi dan mencerahkan generasi muda.

Dalam pilot program ini SurveyMETER melibatkan 7 sekolah di Kecamatan Pajangan (SDN Kembang Putihan, SDN Iroyudan, SDN Guwosari, SMPN 1 Pajangan, SMPN 3 Pajangan, SMAN 1 Pajangan, dan SMKN Pajangan) Kabupaten Bantul. Siswa yang dilibatkan adalah siswa kelas 5 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, 11 untuk SMA. Program ini di sebagian besar sekolah diintegrasikan dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Sebelum siswa melaksanakan tugas lapangannya, tim dari SurveyMETER memberikan pembekalan mengenai apa yang harus mereka lakukan, apa yang harus mereka tulis, bagaimana berbincang dengan lanjut usia, dan seterusnya. SurveyMETER juga menggandeng guru mata pelajaran dalam mendorong dan mengarahkan mereka.

Bagaimana hasil pilot studi tersebut? Sajian lengkap dalam bentuk policy brief dapat di unduh di sini

Kesesuaian Kota Yogyakarta Memenuhi Kriteria Kota Ramah Lanjut Usia Menurut WHO belum Mencapai 50%


Author : Dr. N.W. Suriastini, M.Phil*, Bondan S. Sikoki, SE., MA.*, Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo**, Endra Dwi Mulyanto, SE.,* Jejen Fauzan, SH.I.* (*SurveyMETER **Center for Ageing Studies, Universitas Indonesia) Senin, 14/03/2016SurveyMETER

Pada tahun 2002 WHO mengeluarkan pedoman kota ramah lanjut usia (Age Friendly Cities giudeline) merespon dua fenomena demografi penting, jumlah penduduk lanjut usia yang meningkat pesat dan meningkatnya arus urbanisasi yang mengglobal. Check list pedoman WHO ini mencakup 95 indikator penting yang terbagi dalam 8 dimensi agar lanjut usia tetapi bisa aktif dan sehat di usia tuannya, yaitu: Gedung dan Ruang Terbuka, Transportasi, Perumahan, Partisipasi Sosial, Penghormatan dan Inklusi Sosial, Partisipasi Sipil dan Pekerjaan, Komunikasi dan Informasi, Dukungan Masyarakat dan Kesehatan.

Saat ini Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki persentase jumlah lanjut usia yang paling tinggi di Indonesia karena keberhasilan dari program KB, kesehatan dan juga migrasi keluar. Oleh karena itu Kota Yogyakarta menjadi salah satu kota yang ikut dinilai oleh peneliti SurveyMETER dan Center for Ageing Studies, Universitas Indonesia, tentang kesesuaiannya memenuhi kriteria Kota Ramah Lanjut Usia WHO. Download

Dua dari Sepuluh Lanjut Usia Mengalami Demensia Ketika Memasuki Umur 70 Tahun: Studi Demensia di D.I. Yogyakarta


Author : Dr. N.W. Suriastini, M.Phil*, Dr. Yuda Turana**, Firman Witoelar, Ph.D*, Bondan Supraptilah, SE., MA*, Teguh Yudo Wicaksono, Ph.D*, Endra Dwi M, SESenin, 14/03/2016SurveyMETER

Angka harapan hidup penduduk Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa dekade, sekarang sudah mencapai usia 70an tahun. Seiring dengan peningkatan usia terjadi juga peningkatan resiko penyakit degeneratif seperti demensia. Sebanyak 60-70 % demensia, merupakan demensia Alzheimer. Namun sangat sedikit data yang menginformasikan angka prevalensi demensia di Indonesia. Deteksi dini demensia dan pengetahuan akan angka prevalensinya sangat penting mengingat bahkan pada kasus demensia yang paling progresif termasuk Alzheimer belum ada obatnya.

Di sisi lain, sebagian besar masyarakat menganggap penyakit Demensia Alzheimer (pikun) sebagai bagian dari proses penuaan yang alami. Di sisi lain penyakit tersebut belum ada obatnya sehingga deteksi dini sangat penting untuk dilakukan. Mengetahui angka prevalensi (angka proporsi dari populasi) juga perlu agar masyarakat mengetahui beban dari komunitas dan pelayanan kesehatan.

Data Studi Demensia Alzhaimer di D.I Yogyakarta yang dilakukan oleh SurveyMETER pada Desember 2015 sampai Januari 2016 lalu, menunjukkan dua dari sepuluh lanjut usia di DIY mengalami Demensia ketika memasuki umur 70 tahun. Angka prevalensi demensia lanjut usia pada umur 60 tahun atau lebih mencapai 20,1%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi tingkat dunia (global) yang masih di bawah 10%. 

Semakin bertambahnya umur maka tingkat prevalensi semakin meningkat. Jenis kelamin juga mempengaruhi prevalensi demensia, dimana perempuan memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki kerena pengaruh dari hormon estrogen dan usia perempuan yang lebih panjang dibandingkan perempuan. Lanjut usia yang tinggal dipedesaan lebih tinggi prevalensi demensainya dibandingkan yang tinggal diperkoataan, hal ini karena faktor pendidikan dan aktivitas yang menstimulus penggunaan Otak lebih banyak diperkotaan dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan.

Angka prevalensi demensia yang tinggi ini memberikan informasi berbasis bukti pada para pemangku kepentingan dan kita semua untuk introspeksi diri, meningkatkan promosi tentang gejala, pencegahan sejak dini dan persiapan penanggulangan.

Selengkapnya hasil studi dalam Research Brief tersebut dapat diunduh di tautan ini Download

Angka Prevalensi Demensia Perlu Perhatian Kita Semua


Author : Dr. N.W. Suriastini, M.Phil*, Dr. Yuda Turana**, Firman Witoelar, Ph.D*, Bondan Supraptilah, SE., MA*, Teguh Yudo Wicaksono, Ph.D*, Endra Dwi M, SEJumat, 11/03/2016SurveyMETER

Kurang dari empat tahun Indonesia akan memiliki struktur penduduk yang tua, yaitu persentase penduduk yang berusia 60 tahun atau lebih paling tidak 10%. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk lanjut usia terjadi juga peningkatan jumlah penduduk dengan penyakit degeneratif seperti demensia. Sebanyak 60-70 % demensia, merupakan demensia Alzheimer. Demensia Alzheimer (pikun) merupakan penyakit degeneratif dimana terjadinya penurunan fungsi otak yang mempengaruhi emosi, daya ingat, pengambilan keputusan, perilaku dan fungsi otak lainnya hingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada saat ini belum diketahui secara pasti berapa banyak lanjut usia di Indonesia yang mengalaminya. Pengetahuan masyarakat tentang demensia Alzheimer (pikun) sebagai sebuah penyakit juga masih kecil. Sebagian besar masyarakat menganggap demensia Alzheimer (Pikun) sebagai bagian dari proses penuaan yang sifatnya alami. Di sisi lain penyakit demensia alzheimer belum ada obatnya sehingga deteksi dini sangat perlu dilakukan, termasuk angka prevalensi pada masyarakat perlu diketahui untuk mengetahui beban dari komunitas dan pelayanan kesehatan.

Salah satu tujuan dari survei demensia di D I Yogyakarta yang dilakukan oleh SurveyMETER pada tahun 2016 dengan support dari Knowledge Sector Initiative DFAT adalah untuk mendapatkan prevalensi demensia. Survey ini dibangun dari hasil studi Demensia di Jakarta dan juga dari Survei Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) atau Indonesia Family Life Survey (IFLS). DI Yogyakarta merupakan provinsi dengan persentase jumlah lanjut usia terbanyak di Indonesia. Persentase lanjut usia Indonesia 15 tahun lagi terlihat di D I Yogyakarta sekarang. Angka prevalensi demensia dari survei demensia di D I Yogyakarta menunjukan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka prevalensi pada tingkat internasional. Seberapa besar lebih tingginya tingkat prevalensi demensia pada setiap kelompok umur, tempat tinggal dan implikasinya dipaparkan dalam policy brief ini. Silahkan Download

Berlangganan Policy and Brief